Rabu, 10 Februari 2016

soal jawaban

NO. 1
Latar Belakang PERADI
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
            Menurut Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Banyak pihak yang meragukan para advokat dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksud oleh undang-undang. Pada kenyataannya, dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk PERADI.
            Kesepakatan untuk membentuk PERADI diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas, pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).
 Sebelum pada akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan. Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat yang masih aktif di Indonesia. Proses verifikasi sejalan dengan pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum yang telah diangkat saat berlakunya undang-undang tersebut dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur undang-undang. Sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi persyaratan verifikasi. Para advokat tersebut telah menjadi anggota PERADI lewat keanggotan mereka dalam delapan organisasi profesional yang tergabung dalam KKAI.
            Sebagian bagian dari proses verifikasi, dibentuk pula sistem penomoran keanggotaaan advokat untuk lingkup nasional yang juga dikenal dengan Nomor Registrasi Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi juga diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Di masa lalu, KTPA diterbitkan oleh pengadilan tinggi di mana advokat yang bersangkutan berdomisili. Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 di Ruang Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung Republik Indonesia.
            Persiapan kedua adalah pembentukan Komisi Organisasi dalam rangka mempersiapkan konsep Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Kertas kerja dari Komisi Organisasi kemudian dijadikan dasar untuk menentukan bentuk dan komposisi Organisasi Advokat yang dapat diterima oleh semua pihak.


Persiapan lain yang telah dituntaskan KKAI adalah pembentukan Komisi Sertifikasi. Komisi ini mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan advokat baru. Untuk dapat diangkat menjadi advokat,  selain harus lulus Fakultas Hukum, UU Advokat mewajibkan setiap calon advokat mengikuti pendidikan khusus, magang selama dua tahun di kantor advokat, dan lulus ujian advokat yang diselenggarakan Organisasi Advokat. Peraturan untuk persyaratan di atas dipersiapkan oleh komisi ini.
Setelah pembentukannya, PERADI telah menerapkan beberapa keputusan mendasar. Pertama, PERADI telah merumuskan prosedur bagi advokat asing untuk mengajukan rekomendasi untuk bekerja di Indonesia. Kedua, PERADI telah membentuk Dewan Kehormatan Sementara yang berkedudukan di Jakarta dan dalam waktu dekat akan membentuk Dewan Kehormatan tetap. Pembentukan Dewan Kehormatan di daerah lain saat ini menjadi prioritas PERADI.  Ketiga, PERADI telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI). Komisi ini bertanggung jawab seputar ketentuan pendidikan khusus bagi calon advokat serta pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat.
Baik KKAI maupun PERADI telah menyiapkan bahan-bahan dasar untuk digunakan PERADI untuk meningkatkan manajemen advokat di masa yang akan datang. Penting pula untuk dicatat bahwa hingga saat ini seluruh keputusan, termasuk keputusan untuk membentuk PERADI dan susunan badan pengurusnya, telah diambil melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan paradigma advokat Indonesia.
 Meski usia PERADI masih belia, namun dengan restu dari semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi organisasi advokat yang bebas dan independen, melayani untuk melindungi kepentingan pencari keadilan, dan menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya.










NO.3
Eksepsi adalah salah satu istilah yang digunakan dalam proses hukum dan peradilan yang berarti penolakan/keberatan yang disampaikan oleh seorang terdakwa, disertai dengan alasan-alasannya bahwa dakwaan yang diberikan kepadanya dibuat tidak dengan cara yang benar dan tidak menyangkut hal tentang benar atau tidak benarnya sebuah tindak pidana yang didakwakan. Dalam hukum perdata, eksepsi berarti sebuah tangkisan atau bantahan, dan juga pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat Ada dua jenis eksepsi yang dikenal yaitu Exeptio non adimpleti contractus yang artinya tangkisan seorang tertuntut (yang digugat karena tak menerpati perjanjian) yang menyatakan bahwa si penuntut juga tidak memenuhi janjinya, khusus mengenai pajak jual-beli. Eksepsi jenis kedua adalah Exceptio plurium concumbentium yang berarti dalam tuntutan kebapaan: tangkis seorang tertuntut (lelaki) bahwa pihak penuntut (ibu dan anak bersangkutan) di waktu sebelum hamil telah melakukan hubungan kelamin dengan beberapa pria lain. Jika hal ini dapat dibuktikan, tuntutan si ibu tidak dapat diterima oleh hakim.

Macam Macam Eksepsi
Eksepsi adalah Tangkisan atau Bantahan di Luar pokok perkara dalam persidangan.
Macam macamnya adalah
1.      OBSCUUR LIBEL
 Obscuur Libel berarti gugatan kabur, tidak jelas. Yang dimaksud gugatan kabur adalah
a) Dalil gugatan/posita/fundamental petendi tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.
b) Tidak jelas objek sengketanya.
c) Petitum tidak jelas
d) Antara Posita dan Petitum tidak sesuai.

2. DECLINATOIR
Sifat Eksepsi declinatoir adalah mengelakkan. Eksepsi ini bertujuan agar hakim menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara.
Eksepsi tentang Kompetensi baik relatif maupun kompetensi Absolut.
a)Eksepsi Kompetensi Relatif:
Pengadilan tidak berwenang mengadili, seharusnya diadili oleh Pengadilan di wilayah lain
b) Eksepsi kompetensi Absolut:
Pengadilan tidak berwenang mengadili, yang berwenang mengadili adalah peradilan lain (PA,PTUN)
Hakim dapat menyatakan diri tidak berwenang secara absolut. Dapat diajukan meskipun di tengah tengah sidang(pasal 134 HIR)

3. DISQUALIFICATOIR
eksepsi yang menyatakan penggugat tidak memiliki kapasitas atau kedudukan sebagai penggugat dalam perkara

4. DILATOIR
Eksepsi yang bertujuan untuk menunda diajukan gugatan, bisa dikarenakan batas waktu perjanjian belum jatuh tempo atau ada kesepakatan penundaan pelaksanaan kewajiban.

5. PEREMTOIR
Tangkisan karena gugatan diajukan telah melampaui waktu (kadaluarsa) atau tergugat telah dibebaskan dari membayar.

6.EXCEPTION PLURIUM LITIS CONSORTIUM
Eksepsi ini dibagi menjadi dua yaitu
a) Eksespsi Error in Persona adalah Tergugat menyatakan  gugatan penggugat salah alamat. Seharusnya pihak lain yang harus bertanggung jawab(sebagai tergugat).
b) Eksepsi Subjectum Litis adalah Gugatan penggugat kurang subjek. Seharusnya ada pihak lain yang ikut digugat. Contoh: dalam perkara waris, seluruh ahli waris harus jadi pihak dalam gugatan.

7) NEBIS IN IDEM
Satu perkara yang sama, tidak dapat diperiksa dan diputus pada dua peradilan pada tingkat yang sama.

EKSEPSI harus diajukan bersama sama dengan jawaban. Kecuali eksepsi tentang Kompetensi absolut. Setiap waktu sebelum putusan dapat diajukan Eksepsi Kompetensi absolut. (134 HIR).
NO. 4.
Ketiga istilah ini. Biasanya tidak mampu dibedakan sebagai salah satu instrumen para pihak.  Apa kapasitasnya pihak yang mengintervensi itu, dalam  perkara di pengadilan negeri (perkara keperdataan)?  padahal Secara umum hanya dikenal dua pihak dalam perkara perdata, yakni PENGGUGAT dan TERGUGAT.
Lalu, apa kepentingan pihak ketiga sehingga ia dapat saja menjadi pihak dalam sutu perkara perdata ? Jelas, kepentingan pihak ketiga haruslah ada hubungannya dengan pokok sengketa yang sedang disengketakan antara penggugat dan tergugat.
Pihak ketiga tersebut kemudian disebut intervenient, sedangkan bentuknya disebut intervensi (Vide: Pasal 279 s/d Pasal 282 Rv). Artinya baik VoegingTussenkomst, dan vrijwaring merupakan bentuk-bentuk intervensi (interventie).
Apa yang membedakannya ? pada intervensi bentuk voeging (menyertai) yakni pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap memihak kepada salah satu pihak, biasanya pihak tergugat dan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela salah satu pihak yang bersengketa. Contoh: C sebagai pihak ketiga, berkapasitas sebagai penanggung dari  B sebagai tergugat dapat mencampuri sengketa hutang piutang antara A (penggugat) dan B (tergugat) untuk membantu atau membela B.
Beda halnya dengan Tussenkomst (menengahi), pihak yang mengintervensi tidak ada keberpihakannya kepada salah satu pihak, baik tergugat maupun penggugat. Berdasarkan aturan hukum acara perdata, mestinya pihak yang mengintervensi dalam tussenkomst, dapat mengajukan tuntutan sendiri kepada masing-masing pihak tanpa mencampurinya. Namun dengan penerapan Penyederhanaan perkara dan mencegah adanya putusan yang saling bertentangan, maka pihak ketiga ini dapat menjadi pihak yang juga melakukan tuntutan kepada kedua pihak yang sedang berperkara itu. Contoh: A sebagai seorang ahli waris menuntut B yang menguasai harta peninggalan agar menyerahkan harta peninggalan tersebut, kemudian dating C mengintervensi sengketa antara A dan B dengan tuntutan dialah yang berhak atas harta peninggalan tersebut berdasarkan testamen.
Selain itu, vrijwaring juga dianggap sebagai pihak ketiga, namun keterlibatannya bukan karena pihak ketiga itu yang berkepentingan, melainkan karena dianggap sebagai penanggung (garantie) oleh salah satu pihak, biasanya tergugat, sehingga dengan melibatkan pihak ketiga itu akan dibebaskan dari pihak yang menggugatnya akibat putusan tentang pokok perkara.
Dari sini juga terlihat perbedaannya dengan Voeging maupun Tussenkomst. Pihak ketiga di sini adalah, secara terpaksa sehingga ia terlibat dalam suatu perkara perdata, bukan karena kehendak pihak ketiga itu sendiri. Sebagaimana yang terjadi pada intervensi: Voeging dan Tussenkomst.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 74) , Vrijwaring terbagi atas dua yakni:
1.      Vrijwaring Formil (Garantie Formelle) terjadi jika seseorang diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak atau benda terhadap suatu yang bersifat kebendaan, seperti penjual yang harus menanggung pembeli dari gangguan pihak ketiga (pasal 1492 BW). Dalam kaitannya denganVrijwaring, jika ternyata pembeli ini (Mis A) kemudian digugat oleh C, karena B dulunya menjual barang C kepada A, maka B dapat ditarik sebagai Vrijwaring.
2.      Vrijwaring Simple/ Sederhana, terjadi apabila sekiranya tergugat dikalahkan dalam sengketa yangs sedang berlangsung, ia mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ketiga: penanggung dengan melunasi hutang mempunyai hak untuk menagih kepada Debitur (Vide: Pasal 1839, dan Pasal 1840 BW). Artinya dalam tuntutan itu ada tuntutan penggugat lawan tergugat (tertanggung) dan tuntutan tergugat lawan pihak ketiga (penanggung).
Dari berbagai pemaparan di atas. Jelas, Voeging sebagai pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap para pihak dengan memihak kepada salah satu pihakTussenkomst, pihak ketiga itu menjadi pihak yang Mengintervensi ke pada para pihak tanpa ada keberpihakannya, dengan maksud untuk membela kepentingannya sendiri. Dan jelas amat bebeda lagi dengan Vrijwaring, oleh karena pihak ketiga ditarik secara terpaksa (bukan kehendak pihak ketiga). Pihak ketiga dianggap sebagai PENANGGUNG atas perkara yang dituntut oleh penggugat kepada tergugat.



NO.5
Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.

Arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian sengketa (disputes) perdata (pivate) diluar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu oleh seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang diberi kewenangan untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan pada perjanjian atau klausula arbitrase (arbitration clause), yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum maupun setalah timbulnya sengketa. Arbitrase apabila dilihat dari suku katanya berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare, yang mempunyai arti kebijaksanaan. Oleh karena itu R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Arbitrase Perdagangan mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa yang proses dibantu oleh seorang pihak ketiga dengan menggunakan kebijaksanaannya. Sedangkan dalam islam arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian dari al-qadla (pengadilan). Pengertian tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan arbitrase itu sendiri dapat menimbulkan kesalahpahaman pengertian tentang arbitrase itu sendiri.

Petitum yaitu tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrechting (main hakim sendiri).
Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga biasanya menambahkan dengan tuntutan subside atau pengganti seperti menuntut membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari yang disebut dengan uitvoerbar bij voorrad. Sebagai tambahan informasi, Mahkamah Agung dalam SEMA No. 6 Tahun 1975 perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1 Desember 1975 menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah mengabulkan putusan yang demikian. Masih menurut Yahya Harahap (hal. 63), Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.

Referte adalah jawaban dari pihak tergugat yang berupa menyerahkan seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim, tergugat disini tidak membantah dan tidak pula membenarkan isi gugatan.


Pledoi / Pembelaan.
Setelah jaksa penuntut umum selesai membacakan surat tuntutannya maka giliran diberikan hak kepada terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk mengajukan pembelaan (pledoi) (pasal 182 KUHAP).

Pembelaan (pledoi) bertujuan untuk memperoleh putusan hakim yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum ataupun setidak-tidaknya hukumana pidana seringan-ringannya.

Dalam pasal 182 KUHAP, dinyatakan :
a.                Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
b.                Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum, mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya selalu mendapat giliran terakhir.
c.                Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakuan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.

Dalam mengajukan pembelaan/pledoi biasanya terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan tanggapan, antara lain :
·         Surat dakwaan jaksa penuntut umum kabur
·         Jaksa penuntut umum keliru dalam menerpakan undang-undang atau pasal-pasal yangdidakwakan
·         Jaksa penuntut umum keliru melakukan analisa terhadap unsur-unsur delik yang didakwakan dan penerapan terhadap perbuatan terdakwa yang dipandang terbukti
·         Jaksa penuntut umum keliru dalam menilai alat-alat bukti atau menggunakan alat bukti yang saling tidak mendukung
·         Delik yang didakwakan adalah delik materil bukan formil
·         Mengajukan alibi pada saat terjadinya perbuatan pidana
·         Perbuatan terdakwa bukanlah perbuatan pidana tetapi perbuatan perdata
·         Barang bukti yang diajukan bukanlah milik terdakwa, dan lain sebagainya sesuai dengan kasus yang dihadapi.

Berkaitan dengan alibi, dalam yurisprudensi MARI No. 429K/Pid/1995 : Alibi yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia pada saat dilakukannya delik oleh para saksi (menjadi terdakwa dalam perkara lain) berada di tempat lain, maka alibi ini dapat diterima oleh hakim, karena alibi tersebut dibenarkan oleh para saksi yang keterangannya bersesuaian satu dengan lainnya, dan diperkuat pula adanya surat bukti (buku jurnal). Dengan adanya alibi tersebut, maka dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya.

Replik (oleh Jaksa)
Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi arah dan wujud serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam replik tersebut.

Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan atas pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.

Duplik
Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti ini lazim disebut sebagai “duplik”.
Sebagai penutup dari replik dan duplik dibuat suatu kesimpulan yang menyimpulkan semua tanggapan dan tangkisan.

Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun keputusan, biasanya majelis hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa apakah masih ada yang perlu disampaikan misalnya mohon keringanan hukum atau mohon keputusan yang seadil-adilnya.

Supremasi HUKUM Dan Penegakan HUKUM
Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya.
Mutatis mutandis berasal dari bahasa Latin yang artinya kurang lebih adalah "perubahan yang penting telah dilakukan". Istilah ini digunakan pada saat membandingkan dua situasi dengan variabel yang berbeda.
Istilah ini memiliki konotasi agar pembaca mencurahkan perhatian pada perbedaan pernyataan saat ini dan pernyataan sebelumnya, walau kedua pernyataan ini analogi. Istilah ini sering digunakan pada bidang ekonomi, filsafat dan hukum untuk mengukur sebuah pernyataan dengan istilah baru.

Contoh penggunaan istilah ini dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam pasal 31 disebutkan, "Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden." Kurang lebih artinya, "Penyusunan Peraturan Presiden sama persis dengan penyusunan Peraturan Pemerintah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar